Nah, menghadapi si pembangkang, ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Bersikap tenang dan introspeksi.
Tak perlu menanggapi sikap menentang anak
dengan spontan, reaktif, dan tergesa-gesa. Bersikaplah tenang dalam
menghadapinya. Pahami latar belakang yang menyebabkan anak membangkang
serta kondisi psikologis dan tugas perkembangan anak usia ini. Orangtua
perlu introspeksi terhadap perilaku “tidak patuh” anak. Misal,
inkosistensi, aturan terlalu kaku, konsekuensi berlebihan, kurang
apresiasi, dan sebagainya.
2. Hindari memberikan label
Tak sedikit orangtua menjuluki anak yang
kerap protes dengan “anak nakal, bandel, pembangkang” atau menyindirnya
dengan kata-kata tajam yang sesungguhnya dapat melukai perasaan anak.
Pada saat itu biasanya muncul pernyataan,“Maunya kamu ini apa sih, kok
sama orangtua tidak nurut? Bisa-bisanya kamu menentang orangtua.” Kata-kata seperti ini bisa merenggangkan hubungan orangtua dengan anak.
3. Ciptakan suasana menyenangkan.
Caranya dengan mengganti ucapan yang bernada
perintah/paksaan menjadi sebuah “ajakan”. Dengan bahasa ajakan yang
halus, anak akan lebih mendengarkan dan senang melakukan apa yang
menjadi keinginan orangtua. Ia pun merasa nyaman karena tidak merasa
dipaksa. Cara yang lembut akan membuat anak merasa orangtua mencintainya
dan menganggap dirinya sebagai seseorang yang spesial. Dari situ anak
termotivasi melakukan yang terbaik untuk orangtuanya.
4. Ajak anak berbicara.
Bila anak merasa tak diperhatikan, ajaklah
ia mengobrol. Posisikan sejajar, duduk bersama di sofa atau di teras
rumah, dengarkan apa pun topik yang ia bicarakan. Tanggapi dengan baik
sehingga ia merasa diperhatikan kembali. Biasakan untuk mengajak anak
berdialog sejak kecil, meski perkembangan bahasanya masih terbatas.
Umpama, anak menolak permintaan orangtua, tanyakan mengapa ia tidak mau,
pancing jawabannya lalu coba arahkan bagaimana seharusnya. Terlebih di
usia prasekolah, umumnya penolakan anak disertai dengan alasan, “Aku
enggak mau makan. Sayurnya pahit.”
5. Hindari ancaman/paksaan.
Selain membuatnya makin menolak, anak pun
jadi belajar bahwa segala hal bisa diselesaikan dengan ancaman/paksaan,
bukan dengan dialog dan saling mendengarkan.
6. Instruksi yang jelas.
Bila kita memberikan instruksi atau aturan
tertentu pada si prasekolah, utarakan dengan jelas, gunakan kata-kata
yang sederhana, dan tidak otoriter. Anak mungkin merasa jenuh kalau kita
mengatakan sesuatu panjang lebar, apalagi diulang-ulang dan terkesan
menyuruh-nyuruh.
7. Cari saat yang tepat.
Hindari memberikan perintah pada saat dan
kondisi anak yang tidak tepat, umpama sedang capek, lapar atau
mengantuk, karena bisa dipastikan akan melahirkan ”pemberontakan” atau
membantah. Permintaan pada anak sebaiknya disampaikan dalam kondisi anak
tenang, santai, dan ceria.
8. Pilihan terbatas.
Misal, anak tidak mau segera tidur, orangtua
bisa menggunakan kata, “Adek mau gosok gigi dulu atau ganti baju dulu
baru tidur?” Dengan begitu anak merasa dilibatkan saat pengambilan
keputusan. Tak kalah penting, fokus tentang apa yang harus dilakukan.
Misal, jika ingin menyuruh anak membereskan mainan, fokuslah pada
masalah itu, “Membereskan mainan lebih penting untuk dikerjakan sebelum
menonton teve. Jika tidak mau membereskan mainan, maka teve akan
dimatikan.” Yang pasti, pesan yang ingin disampaikan harus jelas,
sederhana dan tidak otoriter. Sekali lagi, anak akan merasa bosan jika
orangtua selalu membahas hal yang sama berulang-ulang dan terlalu
panjang.
9. Jadilah contoh.
Orangtua menjadi role model bagi si
prasekolah. Tak hanya menyuruh anak membereskan mainan, tapi
mencontohkan bagaimana kerapian di rumah harus dijaga. Bagaimana
ayah-ibu selalu membereskan seprai tempat tidur setelah bangun, menata
sepatu di raknya kembali dengan baik, dan lainnya. Dengan sering melihat
contoh dari orangtua, lebih mudah bagi anak untuk menurut saat diminta
melakukan sesuatu.
10. Reward and punishment.
Penghargaan (reward) diberikan saat anak mau mendengarkan kata-kata orangtua dan melakukannya. Penghargaan tidak harus bersifat fisik. Justru reward yang
bersifat emosional (seperti pujian dan ekspresi cinta dari orangtua)
jauh lebih berarti buat anak. Penghargaan yang diberikan orangtua dapat
menjadi awal dalam membangun hubungan yang lebih baik antara orangtua
dan anak.
Akan halnya hukuman, sebaiknya diubah
menjadi konsekuensi negatif. Lakukan negosiasi dengan anak tentang
konsekuensi yang diterapkan jika anak tidak mau mengikuti suatu
aturan/norma. Contoh konsekuensi adalah hari Minggu si prasekolah tidak
ikut pergi bertamasya, bermain lebih sebentar, atau tidak boleh bermain
dengan mainan kesukaan anak dalam waktu tertentu.
Bila dengan upaya-upaya di atas, anak masih ngeyel atau
membangkang, harap selalu diingat, tak ada proses penanaman nilai yang
bersifat instan. Tetaplah bersabar dan jangan berputus asa untuk
mengoreksi perilaku anak dengan cara-cara positif seperti yang
disarankan di atas. Kabar yang menggembirakan, kepatuhan anak akan
meningkat sejalan dengan perkembangan moral dan usianya. Menghadapi si
pembangkang membutuhkan usaha keras dan telaten.
http://female.kompas.com
No comments:
Post a Comment